Tiga tahun terakhir industri asuransi kerugian umum tumbuh rata-rata di atas 20% per tahun. Tahun 2012 adalah milestone kedua setelah 2010 dalam hal pencapaian target permodalan bagi industri asuransi kerugian.
Pertumbuhan pasar asuransi kerugian di Indonesia selama tiga tahun terakhir mencapai rata-rata di atas 20% per tahun (CAGR). Suatu angka pencapaian yang menarik perhatian investor seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang juga relatif tinggi dan stabil selama periode yang sama. Kendati demikian, target pencapaian modal minimum secara bertahap menuju Rp100 miliar pada akhir 2014 mulai terasa mengguncang struktur industri pada paruh pertama 2011. Seiring dengan target tersebut, telah terjadinya lima tindakan korporasi.
Pertama, pemegang saham existing menambahkan modal setornya. Contohnya Asuransi Bumida telah menerima tambahan modal sebesar Rp30 miliar pada 2007 dari AJB Bumiputera 1912 sebagai pemegang saham existing sehingga pada saat ini modal Asuransi Bumida sudah memenuhi syarat Rp100 miliar. Contoh lain terjadi pada kasus Asuransi Pan Pacific yang pemegang saham existing-nya menambah setoran modal sebesar Rp3 miliar. Dengan tambahan modal tersebut, Asuransi Pan Pacific pada akhir 2010 telah dapat memenuhi syarat modal minimum sebesar Rp40 miliar.
Kedua, masuknya investor baru untuk menyuntikkan dana pada perusahaan asuransi kerugian yang mengalami kekurangan modal. Contohnya Batavia Prosperindo telah menyuntikkan dana sebesar Rp17,5 miliar pada Juni 2011 kepada Asuransi Wuwungan sehingga pada saat ini modal Asuransi Wuwungan sudah memenuhi syarat modal sampai dengan akhir tahun depan (2012) sebesar Rp70 miliar. Saham Batavia Prosperindo di Asuransi Wuwungan menjadi 25%. Contoh lain adalah Asuransi Fadent yang telah disuntik modal oleh pemegang saham baru dan berubah nama menjadi Asuransi Videi. Karena itu, pada akhir 2010 Asuransi Videi telah mampu mencapai angka modal sebesar Rp46 miliar, dan dengan demikian telah mencukupi persyaratan modal minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada akhir tahun lalu. Dampak penting dari masuknya investor baru adalah terdilusinya saham pemegang saham existing sehingga bahkan ada yang tinggal menjadi minoritas.
Ketiga, merger, seperti yang terjadi pada kasus Asuransi Tugu Kresna Pratama dan Asuransi Andika Raharja Putera. YPLN yang memiliki saham 75% di Asuransi Tugu Kresna Pratama dan 20% di Asuransi Andika Raharja Putera serta Andika Energindo yang memiliki saham 24% di Asuransi Tugu Kresna Pratama dan 20% di Asuransi Andika Raharja Putera bersepakat mengonsolidasikan kepemilikan mereka pada satu perusahaan asuransi saja yang bernama Asuransi Tugu Kresna Pratama. Kedua pemegang saham lama ini menguasai 75% kepemilikan perusahaan hasil merger dengan proporsi 52,6% YPLN dan 22,4% Andika Energindo. Pemegang saham lain adalah Asuransi Jasa Raharja 12,5%, Asuransi Allianz Life Indonesia 8,3%, dan sisanya, 4,2%, dimiliki oleh Yayasan Pertambangan dan Energi. Dengan demikian, saat ini Asuransi Tugu Kresna Pratama telah memenuhi syarat modal Rp100 miliar. Dampak utama dari merger dan akuisisi (M & A) adalah mengurangi jumlah perusahaan di arena pasar asuransi kerugian.
Keempat, akuisisi, seperti yang terjadi pada Asuransi Centris yang pada Oktober 2010 diambil alih kepemilikannya oleh Bank Victoria (dan berganti nama menjadi Victoria Insurance) sehingga pada akhir 2010 telah mencukupi syarat modal minimum dengan mencatatkan nilai modal sebesar Rp44 miliar. Bahkan, pada Juni 2011 pemegang saham baru telah menambahkan setoran modal lagi sebesar Rp31 miliar sehingga modal Victoria Insurance saat ini sudah mencapai Rp75 miliar (dan sudah memenuhi tuntutan modal minimum pada akhir tahun depan).
Contoh kasus akuisisi yang masih belum tuntas tetapi sudah confirmed terjadi pada Asuransi Dharma Bangsa. Bank Mandiri dan AXA, SA mengambil alih saham lama senilai Rp38 miliar dari pemegang saham lama (PT Estika Yasakelola dan Dana Pensiun Bank Mandiri), dan menyetorkan dana segar sebesar Rp62 miliar (new rights issue).
Proporsi kepemilikan akan menjadi 60% Bank Mandiri dan 40% AXA, SA. Sehingga, dengan demikian, ketika deal akuisisi ini sudah terealisasi (rencananya pada akhir triwulan ketiga 2011), maka modal Asuransi Dharma Bangsa telah mencapai Rp100 miliar. Dampak positif dari tindakan akuisisi tentunya mencegah kebangkrutan dan menyehatkan industri. Tentu saja kita masih harus menantikan pertumbuhan kinerja produksi sesuai dengan target pada saat akuisisi terealisasi.
Kelima, run off setelah kegiatan operasi dihentikan oleh regulator karena syarat kecukupan modal minimum belum terpenuhi, dan tidak ada rencana yang konkret untuk memenuhinya dalam horizon waktu yang tampak saat ini. Beberapa contoh kasus menuju proses run off yang mulai ramai dibicarakan di media massa beberapa minggu terakhir ini adalah nama-nama seperti Asuransi Lloyd Indonesia, Asuransi Sarijaya, Asuransi Chubb Indonesia, Asuransi Puri Asih, dan Asuransi Wanamekar Handayani. Di samping itu, pada masa lalu juga sudah ada perusahaan asuransi yang melakukan pilihan tindakan korporasi seperti ini, antara lain Asuransi Prisma, Asuransi Prima Perkasa, dan Asuransi Anugerah Bersama.
Dampak pengurangan jumlah perusahaan asuransi, yang pernah mencapai 110 pada akhir abad lalu menjadi sekitar 90 (termasuk yang sudah tidak bisa beroperasi) pada akhir dasawarsa pertama abad ini, belum juga mampu menyehatkan arena persaingan pasar yang ada. Karena itu, estimasi saya, konsolidasi industri melalui salah satu dari lima mekanisme tindakan korporasi tersebut masih akan terus berlangsung seru sampai dengan akhir 2015.
Refleksi saya atas percakapan dengan beberapa pelaku dan tokoh industri dalam beberapa bulan terakhir ini dapat dirangkum dalam tiga poin sebagai berikut:
Pertama, 15 perusahaan asuransi papan tengah (15 almost champions) berambisi untuk berlomba mencapai posisi top 10 dengan target premi bruto melampaui Rp1,5 triliun pada 2015. Di dalam hati, saya mengatakan ambisi ini tentu saja sehat dan sangat baik, asal saja mereka mau melakukan investasi yang memadai dalam mengembangkan kapasitas organisasi mereka. Karena seiring dengan pertumbuhan skala usaha, maka potensi kompleksitas organisasi akan cepat sekali meracuni kesehatan perusahaan apabila tidak ada tindakan persiapan yang dilakukan lebih awal. Jadi, ambisi dan investasi harus berjalan seiring kalau industri ini mau memiliki sekumpulan perusahaan yang sehat, kuat, dan tangguh bersaing.
Kedua, ambisi 10 champions (perusahaan papan atas) untuk mulai berekspansimemasuki arena pasar regional di Asia Tenggara. Sekali lagi, ambisi ini tentu saja sehat dan terpuji. Hanya saja kapasitas organisasi untuk mengembangkan diri dengan cara terus belajar secara kolektif dan intensif harus juga terjadi dengan makin alamiah dan antusias. Mari kita menantikan jagoan nasional kita menjadi kebanggaan bangsa karena berhasil menerobos pasar internasional. Skala modal dan ketangguhan strategi bersaing di pasar global tentu perlu terus ditingkatkan oleh para champions ini agar cita-cita luhur ini menjadi kenyataan.
Ketiga, keraguan dari para pemimpin perusahaan asuransi kerugian akan dukungan regulator untuk memastikan terjadinya disiplin institusi secara konsisten dari waktu ke waktu, dan berlaku tanpa tebang pilih. Beberapa minggu terakhir ini saya berharap-harap cemas melihat berbagai langkah regulator menyelesaikan permasalahan defisit modal pada beberapa perusahaan asuransi kerugian. Tentu saja harapan saya lebih besar daripada kecemasan saya. Saya mulai melihat ada tindakan konkret yang makin membuktikan regulator serius memastikan disiplin institusi terus bertumbuh dan terkawal.
Tahun 2012 adalah milestone kedua setelah 2010 dalam hal pencapaian target peningkatan kapasitas modal industri asuransi kerugian. Mari kita berharap pencapaian target modal sebesar Rp70 miliar akan terjadi dengan lebih mudah dibandingkan dengan pencapaian target modal sebesar Rp40 miliar pada akhir tahun lalu. Saya optimistis ini akan terjadi kalau tindakan disiplin institusi yang berlangsung adil terus terbangun.
Sehingga, pada gilirannya, sebelum 2014 berakhir, semua perusahaan asuransi kerugian (entah berapa jumlahnya nanti) sudah berhasil mencapai modal Rp100 miliar. Ini bukan suatu hal yang mustahil. Bahkan, saya jauh lebih optimistis tentang pencapaian tersebut sekarang dibandingkan dengan pada pertengahan 2008. (*)
Penulis adalah Managing Partner Beda & Company.